Pimpinan Ranting Muhammadiyah Sindurejan
Bersama Kita Bisa
!doctype>
Rabu, 13 Februari 2019
Fatwa Tarjih
Pertanyaan:
Pada saat berpergian (safar), apakah
bisa salat Jumat dijamak dengan salat Asar? Jika salat Jumat bisa
dijamak dengan salat Asar, apakah dilakukan dengan takkhir atau taqdim ?
Jawaban:
Kami informasikan terlebih dahulu bahwa
pertanyaan pertama sebenarnya pernah diajukan kepada Tim Fatwa Majelis
Tarjih dan Tajdid dan telah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah dua
edisi, yaitu No. 03, Th. ke-83/1998 dan No. 3 Tahun Ke-84/1999. Pada
kesempatan ini, kami akan menyampaikan kembali jawaban yang telah kami
uraikan sebelumnya dan menambahkan sejumlah argumentasi.
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan terlebih dahulu.Sabtu, 23 Desember 2017
Fatwa Tarjih Muhammadiyah Tentang Ucapan Selamat Natal
Tentang ucapan “Selamat Hari Natal” dan hukum mengikuti perayaan
Natal bersama, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
menerbitkan fatwa yang persis sama dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia.
Diantara kandungan fatwa tersebut ialah ” “Umat Islam diperbolehkan
untuk bekerjasama dan bergaul dengan umat-umat agama dalam masalah –
masalah keduniaan serta tidak boleh mencampuradukkan agama dengan aqidah
dan peribadatan agama lain seperti meyakini Tuhan lebih dari satu,
Tuhan mempunyai anak dan Isa Al Masih itu anaknya. Orang yang
meyakininya dinyatakan kafir dan musrik.
Selasa, 16 September 2014
TUNTUNAN QURBAN DAN PERMASALAHANNYA
Oleh;
Asep Shalahudin, S.Ag., M.Pd.I.
( Direktur Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah
Yogyakarta, Anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah )
إِنَّا
أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ
هُوَ اْلأَبْتَرُ(3)
Artinya:Sesungguhnya Kami (Allah)
telah memberi engkau (ya Muhammad) ni’mat
yang banyak. Sebab itu shalatlah engkau karena Tuhanmu dan sembelihlah
(kurbanmu). Sesungguhnya orang yang membencimu akan musnah.(QS. Al-Kausar:1-3)
Senin, 24 Maret 2014
MEMILIH PARTAI POLITIK DAN CALON LEGISLATIF
Pertanyaan Dari:
Ikhlasul Amal, Kedungangkring, Jabon,
Sidoarjo, Jawa Timur
(disidangkan pada hari Jum'at, 12 Zulkaidah
1430 H / 30 Oktober 2009)
Pertanyaan:
Assalamu
'alaikum Wr. Wb.
Bersama ini kami ingin bertanya kepada pengasuh rubrik Tanya Jawab
Agama sebagai berikut:
1.
Bagaimana
hukumnya bagi umat Islam memilih Partai yang tidak berasas Islam atau berhaluan
sekuler?
2.
Bagaimana
hukumnya bagi umat Islam memilih Partai yang jelas-jelas mendukung kemaksiatan
seperti menolak UU Pornografi dan Pornoaksi dan juga menolak Pendidikan Agama
dimasukkan ke dalam UU Sisdiknas?
3.
Bagaimana
hukumnya bagi umat Islam memilih Caleg dari kalangan selebriti yang biasa
bergelimang dengan kemaksiatan seperti kumpul kebo dan kecanduan narkoba?
Demikian yang dapat kami tanyakan, kami tunggu jawabannya. Sebelum
dan sesudahnya kami sampaikan terima kasih.
Wassalamu
'alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan saudara, berikut ini kami kutipkan
terlebih dahulu beberapa naskah resmi Muhammadiyah yang berhubungan dengan
persoalan politik:
Pertama, dalam Matan Keyakinan dan
Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) disebutkan sebagai berikut:
“Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam
yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak
mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari
sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun.
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan
hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang
tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.”
Kedua, dalam naskah Khithah Perjuangan dalam
Berbangsa dan Bernegara, sikap politik Muhammadiyah disebutkan sebagai berikut:
“Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam
kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam
urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi,
dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama.
Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga
Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak
mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau
organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam
memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan
prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang
demokratis dan berkeadaban.
Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada
setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan
politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus
merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional
dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan
bangsa dan negara.
Muhammadiyah meminta kepada segenap
anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan
kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab
(amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan
perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya
memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi
munkar.”
Berdasarkan kutipan di atas, kami akan
mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan yang saudara ajukan:
1.
Partai
politik adalah bagian dari urusan muamalah duniawiyah, dan sepanjang pengetahuan
kami belum pernah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Oleh sebab itu, partai
politik merupakan perkara ijtihadiyah. Dalam perkara muamalah atau ijtihadiyah,
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam seperti
tauhid, keadilan, dan lain-lain, maka sesuatu itu tidak dilarang. Kaidah fikih
menyebutkan:
الأَصْلُ فِي اْلمُعَامَلَةِ اْلإِبَاحَةُ حَتَي يَدُلَّ
الدَلِيْلُ عَلَي التَحْرِيْمِ
Artinya: “Hukum asal muamalah adalah boleh, sampai
ditemukan dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Bahkan, Nabi Muhammad saw sendiri pernah
menyatakan:
... أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ
دُنْيَاكُمْ. [رواه مسلم عن أنس]
Artinya: “Kamu semua lebih tahu tentang urusan
duniamu” [HR. Muslim diriwayatkan dari Anas]
Demikian pula halnya partai politik, sepanjang sejalan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, tentu boleh dipilih oleh umat Islam.
Tentang asas partai politik, memang ada beberapa
partai yang mencantumkan Islam sebagai asas partainya, tetapi belum tentu
cara-cara berpolitik dan program-programnya sesuai dengan ajaran Islam. Demikian pula sebaliknya, beberapa partai yang tidak berasas Islam,
belum tentu cara-cara berpolitik dan program-programnya tidak Islami. Oleh
sebab itu, kami menganjurkan kepada saudara agar terlebih dahulu mempelajari
dengan seksama platform atau anggaran dasar partai-partai yang hendak saudara
pilih, termasuk track record perjuangannya selama ini.
2.
Dalam
sebuah negara demokrasi seperti di Indonesia yang sangat majemuk, partai politik
menjadi representasi dari berbagai golongan bahkan agama yang ada. Oleh sebab
itu, sudah barang tentu akan sering terjadi perbedaan pendapat dalam memecahkan
suatu persoalan di Dewan Perwakilan Rakyat yang beranggotakan calon-calon
terpilih dari berbagai partai politik, seperti halnya persoalan pornografi,
pornoaksi dan pendidikan. Umat Islam diharapkan dapat dengan cermat memahami,
partai-partai apa saja, - apakah yang berasas Islam atau bukan, - yang baik
platform, anggaran dasar maupun track record perjuangannya selama ini
mendukung penuh aspirasi umat Islam. Bagi warga Muhammadiyah khususnya,
hendaknya memilih partai yang sejalan dengan dakwah Muhammadiyah, yakni dakwah
amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid. Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi
dan Undang-undang Sisdiknas, sangat sesuai dengan ajaran Islam dan didukung
penuh oleh Muhammadiyah. Pada beberapa edisi yang lalu telah kami sampaikan
Putusan Tarjih Muhammadiyah tentang Pornografi dan Pornoaksi. Dengan demikian,
umat Islam tidak boleh memilih partai politik yang mendukung maksiat atau
menentang ajaran Islam.
3.
Perkembangan
politik di Indonesia memang berjalan sangat dinamis. Saat ini, masyarakat tidak
lagi memilih wakil rakyat dengan memilih partainya, melainkan langsung memilih
orang yang mengajukan diri menjadi Calon Legislatif melalui partai-partai
politik. Calon legislatif atau calon wakil rakyat adalah salah satu bagian dari
kepemimpinan. Dalam memilih calon pemimpin, tentu umat Islam harus
mempertimbangkannya masak-masak, tidak boleh gegabah. Apalagi hanya memandang
status, pekerjaan dan aktifitasnya selama ini. Syarat utama seorang pemimpin
yang layak dipilih adalah Muslim. Allah swt berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. al-Maidah (5): 51]
Adapun syarat-syarat lain di antaranya adalah
amanah, memiliki kapabilitas dan kompetensi, memahami dan membela aspirasi umat
Islam, serta khusus bagi warga Muhammadiyah, hendaknya memilih calon pemimpin
yang mendukung atau sejalan dengan dakwah amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid
yang dikembangkan oleh Muhammadiyah.
Oleh sebab itu, boleh saja umat Islam memilih calon legislatif dari
kalangan selebriti, asal memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas.
Sebaliknya, jika selebriti yang dipilih adalah selebriti yang suka maksiat,
kecanduan narkoba atau hal-hal negatif lain, tentu saja umat Islam tidak boleh
memilihnya.
Sebagai penutup, perlu kami sampaikan bahwa Muhammadiyah melalui
Majelis Tarjih dan Tajdid juga telah membahas persoalan politik pada Musyawarah
Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-26 di Padang tahun 2003, yakni tentang Etika
Politik. Berikut kami kutipkan ringkas naskah Etika Politik tersebut:
Nilai-nilai
Dasar Kehidupan Politik
Nilai-nilai
dasar dalam kehidupan politik menurut ajaran Islam meliputi:
1. Keadilan (al-‘adalah), dalil: QS. al-A‘raf,
7 : 29, QS. an-Nisa’, 4 : 58, 135, dan QS. al-Ma’idah, 5 : 8.
2. Persaudaraan (al-ukhuwwah), dalil: QS. al-Hujurat, 49 : 10, 11, 12.
3.
Persamaan (al-musawah), dalil: QS. an-Nisa’, 4 : 7, QS. an-Nahl, 16 :
97, dan HR al-Qudla'i dan ad-Dailami dari Anas Ibnu Malik sebagai berikut:
قاَلَ
رَسُوْلُ الله صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلنَّاسُ كَأَسْنَانِ اْلمُشْطِ
Artinya: “Rasulullah
saw telah bersabda: ‘Manusia itu seperti gigi sisir’.”
4. Musyawarah (asy-syura), dalil: QS. asy-Syura,
42 : 38, QS. al-Baqarah, 2 : 233, dan QS. Ali ‘Imran, 3 : 159.
5. Pluralitas (at-ta‘addudiyyah), dalil: QS. al-Hujurat, 49 : 13.
6. Perdamaian (as-silm), dalil: QS. al-Anfal,
8 : 61, QS. al-Hujurat, 49 : 9, 10.
7. Pertanggungjawaban (al-mas’uliyyah),
dalil: QS. al-Mu’minun, 23 : 115, HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abdillah bin Amr ra
sebagai berikut:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَاْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ...
Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas
kepemimpinannya, setiap imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas
kepemimpinannya, …”.
8. Otokritik (an-naqd adz-dzatiy), dalil: QS. al-Isra’, 17 :
14.
Kekuasaan
Kekuasaan menurut ajaran
Islam adalah amanah Allah SWT, sebagai penjelmaan dari misi kekhalifahan
manusia di muka bumi, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Kekuasaan tersebut
bersifat mas’ûliyyah atau responsibility (QS. al-Mu’minn,
23 : 115), amanah atau credibility (QS. al-Mu’minn, 23 : 8),
serta berfungsi untuk melayani kepentingan rakyat (QS. al-Hajj 22 : 41).
Good Governance
Good Governance (tata pemerintahan yang baik) merupakan seperangkat tindakan dalam
bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk mengelola negara pada semua
level. Dengan kata lain Good Governance berarti kepemerintahan yang baik
atau hal menjalankan kekuasaan negara secara baik. Inti pokok pengertian yang
terkandung di dalam istilah tersebut menunjuk kepada praktik yang bersih dalam
penggunaan kewenangan di bidang politik, ekonomi dan administrasi untuk
mengelola urusan negara dan masyarakat pada setiap peringkat.
Good Governance merupakan panggilan atau tugas keagamaan yang dituntut oleh ajaran
Islam untuk menegakkan prinsip-prinsip Tauhid (harasat ad-din) sebagai
landasan bangunan kehidupan politik dan penyelenggaraan negara. Selain itu, Good
Governance juga menjadi tugas kemanusiaan, dalam rangka mewujudkan
keadilan, kemakmuran dan kemaslahatan (siyasat ad-dunya).
Untuk mewujudkan Good
Governance, diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Adanya partisipasi
publik dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
2. Semua unsur
masyarakat memiliki komitmen untuk menegakkan hukum.
3. Adanya transparansi
(keterbukaan) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam penyelenggaraan
kehidupan bernegara.
4. Adanya kepekaan dan
kepedulian dalam merespon tantangan dan problem masyarakat.
5. Mengutamakan
kepentingan umum, yaitu adanya orientasi kepada konsensus untuk menciptakan
kemaslahatan mayarakat.
6. Setiap warga negara
memiliki kedudukan yang sama/sederajat di depan hukum.
7. Adanya efisiensi dan
efektivitas dalam pengelolaan SDA dan SDM.
8. Adanya visi strategis
tentang negara yang maju dan berdaulat.
9. Adanya kekuasaan yang
kuat (powerfull) untuk menentukan nasib sendiri, dan tidak didikte oleh
kekuatan asing.
Untuk mewujudkan Good Governance di Indonesia dibutuhkan
kepemimpinan nasional yang adil yang memiliki kualifikasi dan kriteria sebagai
berikut:
1. Integritas: beriman
dan bertaqwa, serta memiliki kekuatan moral dan intelektual.
2. Kapabilitas:
kemampuan memimpin bangsa dan mampu menggalang dan mengelola keberagaman
/kemajemukan menjadi kekuatan yang sinergis.
3. Populis: berjiwa
kerakyatan dan mengutamakan kepentingan rakyat.
4. Visioner: memiliki
visi strategis untuk membawa bangsa keluar dari krisis dan menuju kemajuan
dengan bertumpu pada kemampuan sendiri (mandiri)
5. Berjiwa Negarawan dan
memiliki kemampuan untuk menyiapkan proses regenerasi kepemimpinan bangsa.
6. Memiliki kemampuan
untuk menjalin hubungan dengan dunia internasional.
7. Berjiwa reformis:
memiliki komitmen untuk melanjutkan perjuangan reformasi.
Wallahu a'lam bish-shawab. *amr)
Sumber : http://www.fatwatarjih.com/
Sumber : http://www.fatwatarjih.com/
Jumat, 06 September 2013
PRM Sindurejan gelar Pamitan Calaon Haji 2013
Rabu, 4 September 2013 bertempat di Masjid Nurul Huda digelar pengajian Mangayubagyo Jama'ah Calon haji kampung Sindurejan.
Sabtu, 03 Agustus 2013
Bacaan Takbir Pada Hari Raya
Pertanyaan :
- Bagaimana tuntunan Muhammadiyah tentang waktu mengumandangkan takbir hari raya Idul
fitri?
- Bagaimana lafadz Takbir yang dipegangi oleh Muhammadiyah,
apakah 2 kali atau 3 kali ucapan takbir?
Pembaca Majalah mentari yang dirahmati Allah,
sebelum menjawab pertanyaan di atas, perkenankan kami segenap Anngota Majelis
Tarjih dan Tajdid mengucapkan “selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H,
taqobbalallahu minna wa minkum”.
Berkaitan dengan waktu mengumandangkan takbir
menyambut hari Raya Idul Fitri, kita dapat melihat dalam keputusan Muktamar
Tarjih ke XX, yang secara lengkap sebagai berikut :
Ucapan takbir menyambut hari raya Idul fitri
dimulai sejak terbenam matahari sampai shalat Idul fitri akan dimulai. Hal ini
sesuai keputusan Muktamar Tarjih XX di Kota Garut Jawa Barat, yang selanjutnya
telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan surat Nomor:
C/1-0/75/77 tertanggal 5 Shafar 1397 H bertepatan dengan tanggal 26 Januari
1977, yang berkaitan dengan waktu takbir menjelang shalat ‘Id disebutkan:
Hendaklah engkau perbanyak membaca takbir pada malam Hari Raya Fithrah sejak
mulai matahari terbenam sampai esok harinya ketika shalat akan dimulai.
Demikian
pula dalam Tuntunan Ramadhan yang merupakan sebagian dari Keputusan Musyawarah
Nasional Tarjih XXIV di Malang Jawa Timur yang telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, – sebagaimana yang telah disebutkan dalam pertanyaan, –
disebutkan: di antara Adab dalam menyambut Hari ‘Idul Fithri, yang pertama
adalah: Memperbanyak takbir, dengan uraian: Dalam rangka menyambut Hari ‘Idul
Fithri dituntunkan agar orang (Islam) memperbanyak takbir pada malam ‘Idul Fithri sejak dari
terbenamnya matahari hingga pagi hari ketika shalat ‘Id segera dimulai.
Dalil yang dijadikan dasar keputusan tersebut, –
baik dalam Muktamar Tarjih XX maupun dalam Musyawarah Nasional Tarjih XXIV, –
adalah:
Langganan:
Postingan (Atom)